![]() |
Sejarah Tuanko Rao Pasaman - |
Pada masa remaja Tuanku Rao mendalami ilmu agama Islam di surau Tuanku Nan Tuo, Koto Tuo, Agam, dan kemudian melanjutkannya di Bonjol. Setelah menyelesaikan ilmu fiqihu al-Islam dengan predikat thayyib jiddan (sangat memuaskan), dia dianugerahi gelar Fakih Muhammad.
Fakih Muhammad kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan, puteri Yang Dipertuan Rao. Karena mertuanya bukan seorang penganut Wahabi, dan tidak bersemangat untuk menentang penjajahan Hindia-Belanda, maka pimpinan pemerintahan Rao diambil alih oleh menantunya, yang kemudian bergelar Tuanku Rao.
Gerakan Paderi
Pada 1816, Tuanku Nan Barampek mengiringi Fakih Muhammad pulang ke kampung halamannya untuk menyebarkan hukum Islam. Di Rao, Yang Dipertuan Daulat Padang Nunang, yang punya pertalian darah dengan Kerajaan Pagaruyung, tak ragu-ragu menyosialisasikan hukum Islam tersebut kepada anak kemenakan.Kemudian bersama kemenakannya, Bagindo Suman dan Kali Alam, dia menyebarkan ajaran Paderi ke Langung, Muaro Sitabu, Muaro Bangku, Koto Rajo, Silayang, hingga sampai ke Rokan Hulu, Riau. Di wilayah Rokan dia bertemu dengan teman seperguruannya, Tuanku Tambusai. Bersama Tuanku Tambusai, dia mengislamkan masyarakat Padang Sidempuan, Kotanopan, Padang Lawas, Bakkara, dan sejumlah perkampungan di bibir Danau Toba.
Menentang Belanda
Tuanku Rao merupakan salah satu panglima Perang Padri yang tangguh, dengan gigih melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda di wilayah Pasaman, Kotanopan, Padang Lawas, hingga Padang Sidempuan. Setelah pasukan Belanda menaklukan Matur dan Lubuk Sikaping, pada bulan Oktober 1832 Rao berhasil ditaklukan. Letnan Bevervoorden, seorang komandan pasukan Belanda, menemui Tuanku Rao dan membujuknya agar menyerah. Dalam pertemuan itu, Tuanku Rao berdalih akan pergi haji dan menyerahkan kembali pimpinan pemerintahan Rao kepada mertuanya, Yang Dipertuan Rao.[3]Setelah pertemuan itu, Tuanku Rao menarik diri dan bersembunyi di dalam hutan. Namun semangat yang dibawakan Tuanku Tambusai yang baru saja pulang dari Mekkah, menyemangatinya untuk terus berjuang melawan Belanda. Untuk memuluskan penyebaran paham Paderi ke tanah Batak, Tuanku Rao melakukan penyerangan terhadap pertahanan Belanda di Air Bangis.
Pada tanggal 29 Januari
1833, Tuanku Rao dihadang pasukan Belanda. Perlawanannya dapat
dipatahkan, dan dia menderita luka berat akibat dihujani peluru.
Kemudian dia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada
di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya dibuang ke
laut oleh tentara Belanda.[4]
Kontroversi
Dalam buku Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833, Mangaradja Onggang Parlindungan menulis riwayat hidup Tuanku Rao dan sejarah Perang Paderi.[5]
Namun di dalam buku itu, banyak terdapat kejanggalan serta fakta-fakta
yang tak dapat diterima oleh sejarawan. Diantara pernyataan Parlindungan
yang dinilai sesat adalah asal-usul Tuanku Rao yang disebutnya berasal
dari etnis Batak bermarga Sinambela, dan merupakan seorang kemenakan
Sisingamangaraja X. Ketidakakuratan lainnya adalah mengenai tahun
kematian Tuanku Rao yang disebutkannya pada tahun 1921.
Namun buku tersebut telah dibantah oleh banyak ahli sejarah dan agama Islam. Antara lain adalah Hamka, melalui bukunya Tuanku Rao : Antara Khayal dan Fakta. Dalam buku ini Hamka membeberkan kebohongan yang diungkapkan Parlindungan, sekaligus meluruskan fakta mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi. [6]
Versi Hamka : Tuanko Rao adalah Orang Minang
Hamka sendiri
membantah bahwa Tuanku Rao adalah orang Batak. Menurutnya, di Minangkabau sama
sekali tidak dikenal cerita yang telah luas disiarkan di Toba bahwa Tuanku Rao
adalah putera Batak, yang bernama Si Pongki Nangolngolan. Ia mengatakan bahwa
Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi, bukan dari Bakkara. Karena itu, Tuanku
Rao adalah orang Minang, bukan orang Batak. J.B.
Neumann menulis bahwa Tuanku
Tambusai bergabung di Rao dengan Tuanku Rao dan bahwa Tuanku Rao berasal dari
Padang Matinggi. Ia sama sekali tidak menyebut bahwa Tuanku Rao berasal dari
Toba.
Neumann sendiri menulis pada tahun 1866, dengan mengambil sebagian sumber
karangannya dari Residen T.J. Willer, yang berada di Tapanuli apada tahun 1835
dan dianggap sebagai sumber tangan pertama. Selengkapnya, tulisan Hamka sendiri
dalam menanggapi polemik tentang asal-usul Tuanku Rao telah dikutip secara utuh
dan dapat dibaca di bawah ini:
Orang manakah
Tuanku Rao?
Mohammad Said
menulis dalam bukunya Singa Mangaraja XII, “Ada pun pemimpin perang yang
telah memperhatikan benteng ‘Amerongan’ itu adalah Tuanku Rao sendiri, dalam
hal ini dia dibantu dengan kerja sama kompak oleh Tuanku Tambusai.”
Dalam sumber
lain sekali-kali tidak dikenal dan tidak diketahui apa yang di bagian wilayah
Toba Batak telah meluas disiarkan bahwa Tuanku Rao ini adalah seorang putera
suku Batak, atau Si Pongki Nangolngolan. Tuanku Rao adalah orang Padang
Matinggi. Bukan orang Bakkara! Sebab itu beliau orang Minang. Bukan orang
Batak. J.B. Neumann Kontelir B.B. yang menulis tentang ”Studies over Bataks en
Batakschlanden,” pada halaman 51 ketika menyebut bahwa
Tuanku Tambusai
bergabung di Rao dengan Tuanku Rao, disebutnya bahwa Tuanku Rao ini adalah
berasal dari Padang Matinggi, tidak disebut-sebut bahwa Tuanku Rao berasal dari
Toba. Sumber Neumann yang menulis di tahun 1866, sebagian mengambil sumber
karangannya dari Residen T.J. Willer, yang berada di Tapanuli dalam tahun 1835,
tegasnya lima puluh tahun sebelumnya, yaitu masa peristiwa yang bersangkutan
masih dalam tahun-tahun, di mana orang yang bercerita turut berada, dengan
demikian boleh dikatakan sumber dari tangan pertama.
Menurut suatu sumber
memang benar bahwa Tuanku Rao telah kawin dengan puteri dari Yang Dipertuan Rao
dan karena Yang Dipertuan bukan seorang penganut Wahabiah dan tidak begitu
bersemangat untuk menentang agresi Belanda telah diambil-alih oleh menantunya,
yang kemudian dikenal sebagai Tuanku Rao itu” (Lihat Si Singamangaraja XII,
Mohammad Said, hal 77-78).
Mohammad Rajab
dalam bukunya Perang Paderi menulis, “Daerah Rao banyak menanggung
kerusakan, disebabkan oleh perang saudara, hanya di Padang Matinggi masih ada
rumah-rumah yang bagus.
Tuanku Rao
dibujuk oleh letnan van Bevervoosden supaya menyerah, tetapi ia mengatakan akan
naik haji ke Mekkah dan tidak mau memerintah lagi. Raja Rao yang tadinya
tinggal di belakang selama kaum Paderi berkuasa, muncul lagi dan dalam suatu
rapat para pengulu dan rakyat, ia diangkat oleh pihak Belanda sebagai Regen
Rao” (halaman 139). Kalau apa yang ditulis oleh M. Rajab ini dipertalikan
dengan keterangan Mohammad Said, Tuanku Rao adalah orang Rao, bukan orang
Batak.
Kopi Sejarah
Posting Komentar