![]() |
Utang Sudah Menjadi Candu, Korupsi Makin Marak - |
Banyak orang bosan menerima SMS penawaran utang dari berbagai macam bank. Memang begitulah kerja bank. Kalau Anda punya reputasi baik, maka utang akan ditawari terus-menerus. Tapi bila Anda dalam kesulitan keuangan untuk membayar utang, maka debt collector akan datang untuk menagih.
Begitu juga Indonesia. Sejak pemerintahan Orde Baru berkuasa, kita dianggap anak baik. Akibatnya, penawaran utang terus mengalir. Saat itu, kondisi ekonomi nasional memang masih payah, sehingga untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi kita butuh utang dari luar negeri.
Awalnya, Indonesia tak pernah kesulitan membayar utang. Baru ketika krisis ekonomi tahun 1998 terjadi, kita kebingungan. Datanglah IMF dan Bank Dunia memberi talangan agar Indonesia dapat membayar utang.
Tujuan IMF dan Bank Dunia sebenarnya sama dengan debt collector. Cuma cara kerja dan penampilanya saja berbeda. Karena tak lagi mempunyai pilihan, Presiden Soeharto terpaksa menyerah, kemudian menandatangani Letter of Intent kepada Direktur Pelaksana IMF kala itu, Michael Camdessus.
Tak lama setelah setelah itu, Presiden Soeharto tumbang. Pemerintahan selanjutnya tidak dapat leluasa berutang, karena masih diawasi oleh IMF. Oktober 2006, utang ke IMF lunas. Kegemaran kita pun kambuh untuk berutang.
Pemerintah terus–menerus menambah utang karena pendapatannya lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran. Sebenarnya, untuk mencegah bertambahnya utang, pemerintah harus lebih dulu mengoptimalkan pendapatannya. Pertanyaannya, apakah itu sudah dilakukan?
Jelas belum. Sebab, pendapatan pajak masih relatif kecil dibandingakan dengan potensi yang ada. Seperti diketahui, pendapatan terbesar pemerintah berasal dari pajak. Sayangnya, tax ratio dari tahun ke tahun tak pernah beranjak, hanya 12% dari PDB. Kalau dibandingkan negara tetangga, seperti Malaysia dan Filipina yang di atas 15%, jelas kita di bawahnya. Padahal tarif pajak kita lebih tinggi dari mereka.
Bila saja tahun 2014, tax ratio kita dapat menyentuh 15% dengan PDB sebesar Rp 10.542 triliun, penerimaan pajak tahun 2014 seharusnya sebesar Rp 1.581 triliun. Tapi faktanya, realisasinya cuma Rp 1.143 triliun. Jadi ada selisih sebesar Rp 438 triliun yang merupakan kebocoran dari pendapatan pajak.
Ironisnya, tahun 2014 untuk menutupi defisit anggaran sebesar Rp 241 triliun pemerintah terpaksa harus menambah utang dengan jumlah yang sama. Coba kalau kebocoran pendapatan pajak tidak terjadi, anggaran kita bukanya defisit, malah surplus sebesar Rp 197 triliun.
Bukan hanya pendapatannya yang bocor, pengeluaranya sami mawon. Tahun 1990-an sebelum krisis ekonomi, (alm) Sumitro Djojohadikusumo, pernah mengatakan bahwa kebocoran pengeluaran sampai 30%. Sang begawan ekonomi tentu tidak tidak asal bicara. Sumitro membandingkan, Incremental Capital Output Ratio (ICOR) kita yang lebih besar dibandingkan dengan Malaysia dan Filipina. Hasilnya, pengeluaran pemerintah bocor sebesar 30%.
Tapi itu kan dulu. Kalau sekarang bagaimana? Jawabannya, dengan memakai metode Sumitro, kondisinya makin parah. ICOR kita sebelum tahun 2009 masih di bawah 5%, sekarang malah sudah di atas 5%. Tampaknya ini terjadi, karena korupsi malah semakin marak.
Karena bocor dari sisi pendapatan dan sisi pengeluaran, anggaran pemerintah selalu defisit. Akibatnya utang kita semakin bertambah. Tahun 2011 terjadi penambahan utang sebesar Rp 84,4 triliun.Tahun 2014 penambahan utang malah naik menjadi Rp 241,5 triliun, atau naik sebesar 286%. Tahun ini berdasarkan APBN-P 2015 pemerintah menargetkan penambahan utang sebesar Rp 224,3 triliun.
Total utang pemerintah pusat per Februari 2015 berjumlah Rp 2.744 triliun atau sudah mencapai lebih dari 25% PDB kita. Pemerintah tampak masih pede dengan rasio sebesar itu. Padahal PDB sewaktu-waktu bisa turun, bila terjadi krisis ekonomi .
Akibat penurunan PDB, rasio utang terhadap PDB kita akan membengkak. Ujung-ujungnya, pemerintah akan kesulitan mencari utang baru. Justru pada saat itu, para pemberi utang akan meminta bantuan debt collector (IMF dan Bank Dunia) agar Indonesia membayar utangnya, seperti krisis tahun 1998.
Entah sampai kapan pemerintah ketagihan menambah utang. Utang seperti sudah menjadi candu. Alasan pemerintah berutang adalah untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Alasan tersebut jelas mengada-ada, karena peranan pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi kalah besar dibandingkan dengan peranan masyarakat dan swasta. Bila tercipta iklim investasi yang kondusif, seperti keamanan terjamin, hukum dapat ditegakkan dan birokrasi tidak korup. Swasta, baik lokal maupun asing akan berlomba-lomba berinvestasi ke sini. Karena mereka melihat potensi yang besar di negara ini. Akibatnya pertumbuhan ekonomi akan naik dengan sendirinya.
Pemerintah juga akan tetap dapat berperan dalam pertumbuhan ekonomi walau anggaran surplus. Karena pemerintah setiap tahun toh, akan tetap melakukan belanja modal, seperti membangun jembatan, jalan dan lain-lain.Tapi tentunya tidak usah grasa-grusu melakukannya.
Tugas utama pemerintah sekarang adalah bagaimana menciptakan iklim yang kondusif bagi investor serta menekan kebocoran anggaran, baik dari sisi pendapatan maupun sisi pengeluaran. Cukup menyamakan tax ratio dan ICOR seperti Malaysia dan Filipina saja. Bila hal itu dijalankan, hasilnya bisa membuat ekonomi Indonesia menjadi jauh lebih baik, tanpa harus terus-menerus menambah utang.
Posting Komentar