![]() |
Raja Sontang X Jaman 1908-1939 Bersama Keluarga |
Nagari Cubadak merupakan satu dari 32
nagari yang ada di Kabupaten Pasaman. Luasnya 199,55 km2, berbatasan
dengan Nagari Simpangtonang sebelah utara, sebelah selatan dengan
Kecamatan Talamau, Pasaman Barat, sebelah timur dengan Kecamatan
Panti dan Lubuksikaping, sebelah barat dengan Kecamatan Gunungtuleh,
Pasaman Barat.
Memasuki Nagari Cubadak, suasana asri,
damai dan tentram sangat terasa. Maklum, secara topografi, nagari itu
merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian 600 meter dari permukaan
laut dengan suhu rata-rata 25 sampai 270C. Kiri kanan jalan dihiasi
beragam pepohonan. Sebagian ditanami kebun karet dan coklat. Di nagari
itu juga masih ada ratusan hektare tanah ulayat berupa hutan yang
tidak boleh dikonversi menjadi kebun untuk menjaga keseimbangan alam.
Pagi sampai jelang sore, kampung tampak
sepi. Semua orang sibuk bekerja di sawah dan di ladang. Dari
14.357 jiwa penduduk, terdiri dari 6.756 jiwa laki-laki, dan 7.601 jiwa
perempuan dengan jumlah kepala keluarga 3.361 KK itu, bekerja sebagai
petani sawah, ladang dan dagang.
Namun di beberapa tempat terdengar bunyi
dentuman keras yang tak kunjung berhenti, memecah kesunyian. Dari
kejauhan terlihat percikan api. Sebagian masyarakat juga ada yang
bekerja sebagai pandai besi. Di sepanjang jalan, usaha itu bisa
ditemui. Saban hari mereka mengolah besi menjadi berbagai jenis
peralatan, terutama alat-alat pertanian seperti alat penyadap karat,
pisau, golok dan pedang.
Untuk menjangkau Nagari Cubadak, kita
bisa masuk dari Lubuksikaping melewati Kecamatan Panti, memutar ke
sebelah kiri dan menembus rimbo panti. Jaraknya sekitar 50 km, dapat
dilalui dengan kendaran roda empat dan roda dua. Dari daerah itu
juga bisa tembus ke Pasaman Barat melewati Kecamatan Talamau.
Kesejukan udara di nagari ini seakan
membuat masyarakatnya hidup tenang berkorong berkampung. Nagari ini
terkenal dengan keramahtamahan penduduknya, suka bergotong royong
dan kekerabatan antara satu dengan yang lain terjalin baik.
Adat istiadat yang diwariskan para
pendahulu nagari ini masih terus terlestarikan. Sebut saja bahasa,
tetap menggunakan bahasa Mandailing, tetapi adat istiadat yang dipakai
masyarakat, adat Minang. Kesenian masyarakat di sana juga berubah.
Tak ada lagi tor-tor dan gordang sembilan, onang-onang, andung dan
lain sebagainya yang menjadi ciri khas masyarakat Mandailing.
Lahir seni tradisi baru, yakni ronggeng.
Seni tradisi itu masih ditampilkan dan lestari hingga kini. Kesenian
ronggeng selalu menghiasai acara-acara adat, termasuk turun mandi anak.
Adat Mandailing hanya lestari di dua daerah, yakni Sinuangon dan
Sigalobor.
Sistem Kekerabatan
Dengan mengadopsi sistem matrilineal,
sistem kekerabatan orang Mandailing yang patrilineal otomatis hilang.
Karena itu, marga yang biasanya diturunkan dari bapak menjadi tak
penting lagi. Kalaupun dipakai di belakang nama, kesannya hanya sebagai
“hiasan”, bukan identitas yang penting.
Kini, sistem kekerabatan mereka menurut
garis keturunan ibu. Karena itu, struktur masyarakat juga berubah
dengan meningkatnya peran mamak dan melemahnya peran bapak dalam
struktur masyarakat. Struktur dan istilah yang digunakan untuk
setiap tingkatan dalam struktur masyarakat juga berbeda di setiap
kampung. Penyebutannya menggunakan campuran bahasa Mandailing dan
Minang.
Di Kampung Kambiri, Nagari Cubadak
misalnya, dikenal istilah mamak kepala waris dan mamak kaum. Mamak
kaum ini terdiri dari empat orang yang disebut mamak na opat atau mamak yang empat karena di kampung tersebut asal usulnya berasal dari empat induk atau empat keluarga. Mamak na opat
ini memilik nama yang berbeda. Ada Sutan Burain, Sutan Kebaikan,
Janaga dan Jamangatak. Fungsinya mangurung dan mangandangan anak
kamanakan.
Di atasnya ada paduko alom atau yang disebut natobang, bertugas menyampaikan hasil musyawarah terkait berbagai persoalan di kampung kepada pucuk bulek. Nah, pucuk bulek
inilah nanti yang akan menggodok dan melakukan finalisasi, tetapi
hasilnya akan tetap disampaikan ke forum musyawarah sebelum
diputuskan melalui musyawarah mufakat.
Kemudian, ada yang disebut Datuk Kando Marajo yang berperan sebagai ujung lidah sambung kato atau juru bicara. Posisi ini diisi secara bergiliran oleh mamak na opat.
Ada namanya Laut Api yang berperan sebagai tempat konsultasi.
Posisi ini diisi secara turun temurun. Laut Api juga disebut Natoras Diuta (kampung, red) yang merupakan orang pertama manaruko kampung.
Ada lagi yang disebut Datuk Mudo. Ini merupakan kumpulan orangtua para natoras atau natobang. Mereka dikasih gelar oleh anaknya yang membuka kampung. Ada lagi pemangku ibadat atau yang disebut sibijo putih. Mereka terdiri dari kotik, imam, bilal dan tuo malin.
Jadi secara keseluruhan di Kampung Kambiri saja ada 12 ninik mamak.
Ninik mamak ini bisa bertambah banyak sesuai dengan perkembangan
masyarakat.
Di Kampung Paroman, tetangga Kampung
Kambiri yang masih dalam naungan Nagari Cubadak berbeda pula
istilahnya. Mamak kepala waris tetap sama, tetapi di atasnya disebut
mamak tuo na opat karena kampung itu awalnya dihuni empat induk atau kepala keluarga. Mamak tuo na opat
ini terdiri dari mak tuo kewarisan raja ampung, mak tuo kewarisan
natoras, mak tuo kewarisan jamanangi dan mak tuo kewarisan pangulu.
Di atasnya ada lagi natoras yang terdiri
dari natoras paroman dan rajo kampung. Natoras paroman sifatnya turun
temurun dan rajo kampung dipilih. Natoras paroman berperan sebagai
dewan pertimbangan agung karena menjadi tempat konsultasi
penyelesaian berbagai persoalan yang terjadi di kampung. Pucek bulek tetap ada dan perannya sebagai pai tampek batanyo, pulang tampek babarito.
Pucuk bulek membahas dan
menyampaikan menggodok berbagai persoalan dan hasilnya disampaikan
ke forum musyawarah adat sebelum diputuskan. Sebelum itu dia akan
berkonsultasi dulu dengan natoras paroman. Ada lagi yang disebut dengan tuo sumando yang merupakan kumpulan dari indek apak natoras
atau orangtua natoras. Sementara untuk pemangku ibadat tetap sama
dengan kampung yang lain, ada imam, kotik, bilal dan tuo malin.
Mandailing tak mengenal kedatukan,
tetapi mengenal kerajaan yang masyarakatnya dibentuk berdasarkan
marga-marga. Dalam masyarakat Mandailing yang kekerabatannya
patrilineal, hubungan kekerabatannya bisa ditinjau dari pertalian
darah dan perkawinan yang terpola. Dalam hal ini, orang Mandailing
mengelompokkan diri menjadi tiga kelompok kekerabatan yang menjadi
tumpuan dasar bagi berbagai aktivitas sosial-budaya mereka.
Menurut adat-istiadat, ketiga kelompok kekerabatan tersebut masing-masing berkedudukan sebagai mora, yaitu pemberi anak gadis, anak boru, adalah penerima anak gadis, dan kahanggi
adalah kelompok kerabat satu marga yang ketiganya terikat satu sama
lain berdasarkan hubungan fungsional dalam satu sistem sosial yang
dinamakan Dalian Na Tolu (tumpuan yang tiga).
Pada masyarakat Mandailing juga ditemukan stratifikasi (pelapisan) social. Yaitu, (1) na mora-mora, adalah golongan bangsawan; (2) alak na jaji atau si tuan na jaji, adalah orang kebanyakan atau rakyat biasa; dan (3) hatoban atau partangga bulu, adalah hamba sahaya.
Na mora-mora merupakan kelompok
tersendiri dalam kelompok marganya, yang secara patrilineal berasal
dari pendiri pertama kampung mereka. Ini menunjukkan bahwa pada
mulanya status kebangsawanan dahulu tidaklah dibawa lahir, melainkan
karena penghargaan yang tinggi dari anggota masyarakat terhadap
pendiri pertama kampung mereka tersebut. Setelah itu, barulah takhta
kerajaan diwariskan secara berantai kepada keturunannya.
Sepertinya sebagian wadah atau
kelembagaan yang gunakan di Nagari Cubadak, Duo Koto masih khas
Mandailing seperti adanya Natoras dan Natobang tetapi wadah itu diisi
dengan prinsip-prinsip Minangkabau seperti adanya mamak kepala waris
dan mamak na opat yang mewakili keluarga dalam struktur
masyarakat berdasarkan garis keturunan ibu. Hal ini berdampak pada
hilangnya sistem Dalihan Na Tolu yang menjadi ciri orang Mandailing.
Wali Nagari Cubadak M Dahril Lubis kepada Padang Ekspres
mengatakan, penggunaan sistem matrilineal dalam masyarakat Cubadak
bukan karena keterpaksaan, tetapi keinginan sendiri. Itu
menunjukkan masyarakat Cubadak sangat memegang prinsip “di mana
bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Karena marga tak lagi turut membentuk
struktur masyarakat, terkesan orang Cubadak menganggap marga sesuatu
yang kurang penting. Mereka jarang menuliskan marga di ujung nama
anaknya yang menjadi kebiasaan dan kebangggaan orang Mandailing. Marga
yang mereka miliki juga sumbernya beragam. Ada yang mengambil dari
jalur ibu, tetapi masih ada juga yang dari bapak. Ada juga yang bingung
saat ditanya tentang marganya.
“Kalau kita, marga masih dari bapak,”
ujar M Dahril Lubis. “Kalau saya dari ibu, tapi nama-nama di keluarga
tidak ada yang di ujungnya memakai marga. Anak-anak saya juga begitu,”
kata Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Nagari Cubadak Ahmad Azizan.
“Saya malah bingung marga saya dari ibu apa dari bapak karena tak pernah
dibahas di keluarga,” sambung Kepala Jorong Hulu Pasaman Edefri.
Sistem matrilineal yang diduga mulai
diterapkan saat Raja Sontang III yang rajanya bernama Ninggil berkuasa
periode 1681-1734 M, kini benar-benar melekat di tengah-tengah
masyarakat. Mereka tak pernah lagi berpikir untuk kembali ke adat
Mandailing. Orangtua yang akan menikahkan anaknya juga selalu memberi
garisan harus sumando (suami tinggal di tempat istri), tidak boleh manjujur (istri tinggal di tempat suami) yang lazim digunakan dalam adat Mandailing. Mereka kini benar-benar menjadi “orang Minang”.
”Bagi kami sistem sumando lebih baik. Laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja. Mohon maaf ya, dalam sistem manjujur,
terkadang laki-laki jadi pemalas, justru perempuan yang bekerja.
Padahal dalam adat Mandailing, tanggung jawab laki-laki sangat besar.
Makanya di sini, tidak ada orangtua yang mau anak perempuannya kawin
dengan sistem manjujur,” ujar Yunaidi yang juga Rajo Kampung di Kampung Paroman.
Sistem manjujur di Nagari Cubadak
secara umum hanya berlaku bagi laki-laki yang menikah dengan orang
luar dari nagari tersebut. Tapi aturan ini juga tidak berlaku mutlak.
Yang ingin manjujur juga dibolehkan dan tetap bisa diadati. “Yang berlaku umum sistem sumando, tapi kalau manjujur
juga boleh dan tetap bisa diadati tapi tidak banyak yang
melakukannya,” ujarnya Yunaidi. “Tapi entah kenapa kami merasa lebih
dekat dengan keluarga ibu,” sambung Azizan.
Beda dengan adat Mandailing dan Minang
yang tidak bisa melakukan proses adat jika perkawinan dilakukan dengan
orang di luar etnisnya. Proses adat baru bisa dilaksanakan jika orang
non-Mandailing atau non-Minang itu melakukan integrasi melalui pemberian
marga atau dalam istilah Minang disebut dengan malakok melalui
pemberian suku. “Itulah uniknya di tempat kita, sangat fleksibel.
Tergantung kita mau pakai yang mana?” sambung Ahmad Azizan. (***)
Posting Komentar